[NEWSmedia] - Gaya hidup hedonis dan egois sangat terasa dalam kehidupan bermasyarakat, mempengaruhi kehidupan di perkotaan dan merambah ke pedesaan. Sikap tidak mau tahu, individualistis, kesibukan seakan tanpa batas waktu. Apalagi, di era teknologi informasi, dimana sebagian besar kebutuhan, kepuasan dan komunikasi berjalan melalui bantuan alat komunikasi yang praktis, seperti handphone. Kemudahan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan baru sekedar merubah gaya hidup, namun tidak mampu merubah keterpurukan, kesulitan ekonomi. Bahkan, justru menjadi salah satu penyebab semakin menguatnya sistem sosial, seperti gotong-royong, tolong-menolong, berbaur dan bekerjasama dan saling sapa sebagai bagian dari penegakan silaturahmi.
Sejak abad 14 berlalu, Islam telah menawarkan penegakkan silaturahim melalui seruan shalat-berjamaah">shalat berjamaah. Urgensi pelaksanaan shalat-berjamaah">shalat berjamaah ditandai dengan penghargaan agama terhadap hukumnya, yakni sunah muakad. Ibnu Umar ra meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, "Shalat berjamaah lebih utama 27 derajat dibandingkan shalat sendirian." (HR.Bukhori dan Muslim).
Perintah shalat-berjamaah">shalat berjamaah dan keutamaannya yang biasa dilaksanakan lima kali setiap hari, sesungguhnya menggugah partisipasi dan kebersamaan umat Islam dalam menguatkan sistem dan modal sosial, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Dimana pertemuan, jalinan koumunikasi, kebersamaan dan keterlibatan secara langsung seorang Muslim dengan sesama akan berjalan dengan baik.
Pelaksanaan shalat-berjamaah">shalat berjamaah di mushalla atau masjid, bukan sekedar mendapat pahala semata. Namun, Rasul SAW hendak mengajarkan pentingnya persatuan, kebersamaan, saling mengenal, bertgur sapa, saling memahami keberadaan satu sama lain. Sehingga, dapat menjamin dan mempertahankan sistem sosial di masyarakat dan penguatan modal social. Munculnya kepercayaan satu sama lain sangat berguna dalam mengikis munculnya problematika sosial dan mencegah sikap amoral.
Dalam shalat-berjamaah">shalat berjamaah, di satu sisi seorang Muslim diajarkan kepemimpinan saat menjadi imam. Sementara itu, disisi lain, berlatih menjadi rakyat dan siap dipimpin ketika menjadi makmum. Begitu besar nilai pahala, nilai sosial di dalamnya. Suatu saat, Rasulullah SAW melihat seseorang mengajarkan shalat sendirian, maka Beliau Bersabda, "Andai saja ada seseorang yang bersedekah kepada orang lain, yaitu dengan melakukan shalat bersamanya…."
Seruan shalat-berjamaah">shalat berjamaah tidak hanya pada kaum laki-laki, melainkan juga pada kaum perempuan. Aisyah ra sering menjadi imam bagi kaum perempuan dan berdiri bersaama mereka dalam satu barisan shaff. Begitu halnya dengan Ummu Salamah, bahkan Rasul SAW memerintahkannya menjadi imam bagi penghuni rumahnya pada saat mengerjakan shalat-shalat fardhu.
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah melarang para perempuan pergi ke masjid-masjid Allah. Jika mereka mereka datang ke masjid, hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian." (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Salah seorang sahabiyat, Ummu Humaid As Sa’idiyyah datang menghadap Rasul SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, aku suka sekali mengerjakan shalat bersamamu." Beliau menjawab, "Aku tahu hal itu, tetapi shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di Masjid Jami." (HR. Ahmad dan Thabrani).
Penegakan Shalat berjamaah di zaman keemasan Islam, tidak hanya dikalangan laki-laki, namun para perempuan juga dianjurkan berjamaah. Sebagaimana biasa dilakukan oleh isteri-isteri Nabi Muhammad SAW, teladan bagi kaum Muslimah dimanapun dan kapanpun.